“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Syair lagu Ibu, Iwan Fals
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas ibu.”
Jasa Ibu
Allah Ta’ala memberikan naluri menyayangi pada setiap ibu saat pertama menatap buah hatinya. Bahkan jauh sebelum terlahir, ibu mengandungnya sembilan bulan. Bulan-bulan awal kehamilan yang berat. Mual, pusing, dan lemas menjadi rutinitas. Namun ibu tetap bahagia menantikan kelahiran anaknya.
Ibu juga harus melewati proses melahirkan yang tidak bisa dikatakan mudah. Rasa ngilunya kontraksi, sakitnya mengejan, dilalui ibu demi sang anak. Perjuangan ibu tak habis di situ. Bulan-bulan pemulihan dari melahirkan dan menyusui telah menanti.
Allah Ta’ala berfirman, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan ….” (TQS. Al-Baqarah: 233).
Hari demi hari dilalui ibu mengasuh anak-anaknya. Pengasuhan yang tidak bisa digantikan orang lain. Mendidik mereka, menjadikannya sosok manusia yang bertakwa kepada Allah. Memastikan sang anak terpenuhi kebutuhan materi dan rohaninya. Jalan yang ditempuh pun tak semulus kisah-kisah sinetron yang berakhir bahagia. Ibu menelan pil pahit kehidupan, menyimpan air matanya, di depan senyum anak-anaknya.
Adakalanya perbuatan anak-anak yang melukai hati ibu. Namun hati seorang ibu tetaplah seluas samudera. Membuka pintu maaf lebar-lebar. Rasa kecewa ibu pada anak tak akan bertahan lama, sebab rasa cinta yang begitu besar.
Dalam kitabnya Al-Kabair, Imam Adz-Dzahabi menjelaskan, “Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu, dan ia hilangkan rasa mengantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh, tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya, dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu, dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.”
Ibu di mata Islam
Islam menempatkan ibu sebagai Al-ummu madrasah al-ula (ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya). Ibu tak hanya sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya, tetapi ibu menjadi sekolah utama. Dari didikan ibu, lahir anak-anak cerdas, shalih, pemberani, memiliki akhlak yang baik. Menjadi mukmin sejati. Dari balik seorang pemimpin yang adil, ulama yang mukhlis, ilmuwan yang cerdas, ada campur tangan seorang ibu yang menyiapkannya.
Jasa-jasa ibu menggunung tinggi. Oleh karena itu Islam menempatkan ibu dalam kedudukan yang mulia.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (TQS. Al-Isra’17:23-24)
Perjuangan ibu dari semasa mengandung, melahirkan, menyusui hingga mendidik anak tak akan mampu terbalas. Air susu yang mengalir dalam tubuh anak senantiasa mengalir hingga anak dewasa bahkan menua.
Ada sebuah kisah yang mengharukan. Seorang pemuda dari Yaman thowaf di Makkah. Ia terlihat berbeda dari jamaah yang lain. Thowaf dengan menggendong ibunya di punggung. Bisa dibayangkan betapa besar sayangnya pada sang ibu. Pemuda itu bertemu dengan Ibnu Umar. Ia berkata, “Sungguh aku ini laksana onta penganggkut barang yang hina bagi ibuku. Jika ibuku menarik tali kekangnya dengan sangat keras maka aku tidak pernah mengeluh karena lelah melayaninya.”
Kemudian pemuda itu bertanya, “Wahai Ibnu ‘Umar apakah menurutmu aku telah mampu membalas jasanya kepadaku ? Lalu Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma menjawab, ‘Tidak, (engkau belum sanggup membalas jasanya) walaupun cuma satu rintihan tarikan nafasnya saat melahirkanmu.” (Kitab al-Kabair karya adz-Dzahabi).
Sungguh jawaban yang telak bagi kita semua. Pengorbanan yang besar pemuda itu ternyata belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan seorang ibu.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.” (HR. Al Bukhari).
Begitu tinggi kedudukan seorang ibu dalam Islam. Lalu bagaimana cara membalas jasa ibu? Bersambung