Harta yang kita miliki sejatinya adalah rezeki dari Allah Ta’ala. Diberikan oleh Allah Ta’ala. Ada yang diberikan secara cuma-cuma alias tanpa usaha manusia. Ada juga yang diberikan dengan berbagai ujian yang harus dilewati. Manusia pun beragam pula cara menjemput rezeki ini. Ada yang ikhlas bersusah payah melalui jalan halal. Namun tak sedikit yang melewati jalan pintas yang diharamkan ALla Ta’ala. Cara-cara inilah yang kelak dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala pada hari penghisaban kelak.
Selain diminta pertanggungjawaban cara memperoleh rezeki, kita juga akan ditanya tentang aliran harat tersebut. Apakah dibelanjakan untuk hal-hal yang diperintahkan Allah Ta’ala atau justru sebaliknya, dibelanjakan pada perkara yang dilarang? Nah, mari kita tilik mana saja aliran harta yang termasuk dilarang Allah Ta’ala.
Tabzir (mubadzir)
Dalam kitab Nizham Iqtishodi, Syekh Taqiyudin An-Nabhani (2018:277-281) menjelaskan, secara bahasa kata tabzir (mubadzir) dikatakan, misalnya, badzara al-maal tabdzira, artinya adalah farraqahu israf[an] (menghambur-hamburkannya) wa baddadahu (membiarkannya berserakan). Kata tabdzir (mubadzir) dan israf tidak boleh ditafsirkan secara bahasa. Karena akan memiliki penafsiran yang berbeda jauh dengan makna syar’i.
Adapun secara syar’i, kata tabdzir bermakna: membelanjakan harta dalam perkara yang Allah larang/haramkan. Dengan demikian, setiap pengeluaran harta yang memang telah Allah Ta’ala bolehkan (mubah) atau memang Allah Ta’ala perintahkan, banyak atau sedikit, tidak termasuk dalam kategori tabdzir dan israf. Sebaliknya, setiap pengeluaran harta yang telah Allah Ta’ala larang, sedikit atau banyak, termasuk dalam kategori tabdzir dan israf.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Ini merupakan kecaman dari Allah terhadap tindakan israf, yaitu menafkahkan harta dalam perkara kemaksiatan. Kata musrifin yang dinyatakan dalam ayat di atas bermakna mu’ridhin (orang yang lalai/berpaling) dari mengingati Allah.
Terkait perbuatan tabdzir, Allah berfiman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا…
“… dan janganlah kalian berbuat tabdzir.” (QS. AL-Isra’: 26)
Kemudian disambung pada ayat berikutnya:
إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang melakukan tabdzir itu adalah saudara setan.” (QS. Al-Isra’: 27)
Maksudnya, mereka sama sepereti setan dalam hal kejahatannya.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan, tabdzir (mubadzir) adalah mengeluarkan harta bukan di jalan yang haq. Mujahid mengatakan, kalau seseorang mengeluarkan hartanya –meski hanya satu mud saja—dalam perkara kebatilan maka statusnya adalah tabdzir (mubadzir). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu anhu juga pernah mengatakan ihwal orang yang berbuat tabdzir (mubadzir), yakni orang yang mengeluarkan harta bukan di jalan yang haq. Semua ini membuktikan, bahwa yang dimaksud dengan tabdzir dan israf adalah mengeluarkan harta dalam perkara-perkara yang Allah haramkan.
Ada banyak sekali perkara yang diharamkan Allah Ta’ala dalam perilaku tabdzir (mubadzir). Misal, membeli khamar, narkoba, dll. Membelanjakan harta untuk sewa prostitusi. Ada juga yang menyewa orang untuk membunuh orang lain. Bahkan ada sebagian masyarakat yang hingga kini masih mengeluarkan harta untuk perayaan-perayaan menyekutukan Allah Ta’ala. Jelas perilaku tersebut bagian dari tabdzir (mubadzir). Belum lagi saat ini marak kasus suap. Membelanjakan harta untuk memuluskan kepentingan tertentu. Perkara-perkara ini hanya sebagian kecil contoh dalam aktivitas membelanjakan harta secara tabdzir (mubadzir). Masih ada banyak sekali di sekeliling kita aktivitas lain yang termasuk dalam kategori tabdzir (mubadzir) ini.
Taqtir/kikir/bakhil
Masih dalam kitab Nizham Iqtishodi, Syekh Taqiyudin an-Nabhani (2018:287) menjelaskan, Islam telah melarang tindakan taqtir (kikir) terhadap diri sendiri dan menahan diri dari kenikmatan yang dibolehkan syariah. Islam bahkan menghalalkan untuk menimati rezeki-rezeki yang baik serta mendapatkkan hiasan yang layak. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah engkau menjadikan tanganmu terbelenggu di atas lehermu serta janganlah engkau terlalu mengulurkannya sehingga engkau tercela karenanya.” (QS. Al-Isra’: 29)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah suka untuk melihat tanda-tanda kenikmatan-Nya pada hamba-Nya.” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam hadits yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda:
“Jika engkau telah dianugerahi harta oleh Allah, tampakkanlah tanda-tanda nikmat dan kemuliaan yang telah Allah berikan kepadamu itu.” (HR. Al-Hakim, dari ayah Abual-Ahwash).
Tindakan orang-orang yang taqtir/kikir terhadap diri sendiri, di sisi Allah dianggap dosa. Bertentangan dengan nash Alquran maupun hadits yang memerintahkan untuk menampakkan kenikmatan yang telah diberikan Allah Ta’ala. Lebih-lebih lagi jika taqtir (kikir) terhadap keluarga yang berada dalam tanggung jawab nafkahnya. Pada kondisi seperti ini, maka negara berhak memaksa orang tersebut untuk memberikan nafkah yang layak.
Allah berfirman:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ
“Hendaklah orang yang mampu mengeluarkan infak menurut kemampuannya.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Apabila anggota keluarga mendapati orang yang wajib menanggung nafkah ternyata bakhil/kikir, maka ia berhak mengambil hartanya sesuai dengan kelayakan mereka secara lazim.
Dari Aisyah radhiallahu anha, Hindun binti Utbah mengatakan:
“Wahai Rasululllah, Abu Sufyan adalah orang bakhil, yang tidak pernah memberiku nafkah yang bisa mencukupiku serta anak-anakku, kecuali nafkah yang aku ambil darinya ketika dia tidak tahu (lengah).” Jawab Nabi, “Ambillah, nafkah yang bisa mencukupimu serta anak-anakkmu, sewajarnya saja.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Contoh perilaku taqtir (kikir) yang haram di antaranya, terlihat dari keengganan atau bahkan tidak mau mengeluarkan zakat. Tidak mau menolong orang yang membutuhkan bantuan dari harta. Bahkan melalaikan nafkah terhadap anak dan istri.
Maka sebagai seorang muslim, hendaknya senantiasa mengikuti perintahkan Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya. Termasuk dalam segi membelanjakan harta. Stop belanjakan harta dengan cara tabdzir (mubadzir) dan taqtir (kikir/bakhil). Tidak membelanjakan harta di jalan kemaksiatan dan tidak pula bakhil terhadap harta yang seharusnya dikeluarkan. Harta yang diperoleh dari jalan halal seyogyanya dibelanjakan dengan cara yang halal pula. Dunia selamat, kebahagiaan akhirat pun insya Allah didapat.[]